Pemahaman-pemahaman agama yang menyimpang dari kaidah-kaidah
penafsiran nash serta prinsip-prinsip Usuluddin sudah muncul sejak generasi
pertama umat Islam (Assalaf Ash-Shalih). Pemahaman-pemahaman ini muncul dalam
bentuk yang berbeda-beda dan tentu dengan latar belakang atau dorongan yang
berbeda-beda pula.
Di penghujung kepemimpinan Ali bin Abi Thalib R.A,
sekelompok orang yang terbakar dendam politik mengangkat isu aqidah dengan
slogan Laa hukma illa lillah, Mereka mengkafirkan dan berlaku kejam
kepada umat muslim yang tidak sepaham. Itulah kelompok yang kemudian dikenal
dengan sebutan Al-Khawarij atau Al-Haruriyah. Pada saat yang sama dan dengan
latar belakang politik pula muncul kelompok Syi'ah dengan pendapat-pendapatnya
yang tidak asing lagi di dunia Islam.
Di masa dinasti Abbasiyah, seorang penyair yakni, Abul 'Ala
Al Ma'ri mengkritik hukuman potong tangan bagi pencuri, Ia mengatakan :
Yadun bikhomsi mi iina 'asjadin fudiyat # Maa baa luhaa
quti'at fii rub'i diinarin
(Satu tangan harus ditebus dengan lima ratus dinar, kenapa
hanya karena mencuri seperempat dinar tangan itu harus dipotong ? ).
Kritikan ini boleh jadi karena faktor keingintahuan si
penyair tentang suatu hukum yang dianggap tidak rasional atau boleh jadi ia
sengaja membuat keraguan terhadap syari'ah Islam sebab pada masa itu terdapat
banyak orang Zanadiqah yang tidak jelas keyakinannya. Pada masa ini pula muncul
kelompok Ikhwanushshafa yang tidak jelas siapa orang-orangnya tetapi pikiran
mereka dituangkan dalam tulisan-tulisan yang menggabungkan antara Sastra dan
Filsafat.
Pada intinya mereka mengajak manusia untuk berbuat kebajikan
tanpa harus berpegang pada aturan-aturan syari'ah. Kemudian lahir pula kelompok
Bathiniyah yang menganggap ayat-ayat Al-Quran mempunyai dua jenis makna yaitu
makna lahir dan makna batin. Aliran ini terus eksis meski Imam Al-Ghazali telah
berupaya untuk merobohkannya lewat bukunya Fadlaih Al Bathiniyah. Belakangan
pada masa kebangkitan Eropa dan kemunduran negara-negara Islam, ketika wilayah
Islam menjadi seperti kue yang dibagi-bagi diantara negara-negara penjajah dan
ketika dinasti Ottoman (Utsmaniyah) – simbol otoritas khilafah Islam –
menjadi semacam orang tua yang sakit dan ditunggu kematian dan warisannya oleh
bangsa-bangsa Eropa, ketika itulah bermunculan para orientalis yang giat
mempelajari ilmu-ilmu keislaman bukan untuk melihat kebesarannya, tetapi
sebagian besar mereka melakukannya hanya untuk mencari-cari kelemahan untuk
mengobati rasa dendam atau Phobia mereka terhadap Agama terakhir ini. Maka
tidak heran jika mereka seringkali mendasarkan kritikannya kepada Syari'ah pada
kutipan-kutipan yang diambil dari buku semacam Al-Aghani karya Al-Ashfihani.
Dalih Pembaharuan
Di tengah kemajuan Barat yang semakin pesat dan kemunduran
umat Islam yang semakin parah, Barat tidak segan-segan untuk mengkampanyekan
bahwa kemajuan mereka tidak lain karena mereka sukses dalam menjadikan Agama
sebagai urusan pribadi antara manusia dengan Tuhannya dan tidak ada sangkut
pautnya dengan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu umat
Islam pun kalau ingin maju harus melakukan hal yang sama. Kampanye ini diterima
oleh sebagian umat Islam khususnya setelah runtuhnya dinasti Ottoman dan
digantikan dengan negara sekuler pimpinan Kamal Ataturk.
Muncullah kemudian pemikir-pemikir yang mengatakan bahwa
hukum Islam sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Hukum-hukum itu
hanya cocok untuk seribu tahun yang lalu ketika masyarakat Arab masih dalam
kondisi primitif. Pemikiran ini menjadi eksis di kalangan tokoh-tokoh yang
memperjuangkan hak-hak rakyat miskin yang semakin tertindas seiring dengan
menguatnya pemikiran sosialis di Eropa yang diilhami oleh pandangan-pandangan
Karl Marx. Para tokoh sosialis (kiri) ini kemudian mencari justifikasi
(pembenar) dari agama agar pendapat mereka itu kelihatan sah dan dibenarkan
agama.
Maka ditampilkanlah sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Abi
Dzar R.A yang berseberangan dengan Sayyidina Utsman R.A yang mereka anggap
mewakili kaum borjuis. Pemikiran ini kemudian merembet ke sebagian kaum
terpelajar Islam yang gencar mengkampanyekan pembaharuan agama. Mereka
menganggap selama ini terdapat kekeliruan umat Islam dalam memahami agamanya
sehingga menyebabkan umat ini begitu terpuruk nasibnya. Di lain pihak lahir
pemikiran yang bertolak belakang dengan pemikiran di atas. Yakni bahwa
keterpurukan umat Islam tidak lain karena mereka semakin jauh dari ajaran
agamanya. Agama tinggal masalah-masalah ibadah, itupun dalam kadar yang semakin
menurun. Sementara persoalan ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dll sudah
sangat jauh dari agama. Padahal semuanya ini sama-sama mendapatkan perhatian
serius dari agama.
Gerakan ini kemudian dikenal dengan sebutan Al-Ikhwan
Al-Muslimun yang dimana-mana mengkampanyekan ajaran-ajaran Islam yang
komprehensif dan integral (syamil). Gerakan ini kemudian menjadi rival
utama gerakan sosialis. Polemik dan pertikaian antara keduanya selalu memanas
dan tiada henti. Politik punya andil besar dalam mendukung atau mempersempit
gerak langkah masing-masing kelompok. Di masa Presiden Jamal Abd. Naser yang
pro Soviet gerakan sosialis mendapatkan angin segar, sementara rivalnya
ikhwanul ditindas habis-habisan. Sebaliknya di masa Presiden Anwar Sadat Ikhwan
sedikit banyak mendapatkan kelonggaran.
Karena masing-masing mereka adalah orang-orang Islam dan
berkiprah di tengah-tengah masyarakat muslim maka tidak heran di kalangan kaum
sosialispun muncul apa yang mereka sebut dengan ijtihad-ijtihad baru tentang
Islam. Ada yang menitikberatkan ijtihadnya (pemikirannya) pada persoalan
kemanusiaan (Humanisme) seperti yang dipelopori oleh Hasan Hanafi. Ada yang
melalui jalur merintis kembali teori pemahaman nash-nash agama seperti Nasr
Hamid Abu Zaid. Ada yang mengotak-atik hukum-hukum islam yang sudah mapan
seperti Moh. Said Asymawi, dan seterusnya. Mereka rata-rata selalu berdalih
pada perlunya pembaharuan agama.
Dalih dan Pemikiran mereka ini tentu mendapat respon dan
dukungan sangat positif dari dunia Barat sehingga pemikiran mereka pada umumnya
diekspos dari sana. Hampir setiap sesuatu yang datang dari Barat atau mendapat
acungan jempol darinya selalu memikat orang-orang Indonesia tidak terkecuali
pemikiran-pemikiran islam. Begitulah kemudian pemikiran-pemikiran atau paling
tidak ide dasar mereka laku keras di kalangan muda NU. Maka lahirlah Jaringan
Islam Liberal (JIL) yang mengkampanyekan ajaran-ajaran islam yang liberal, pluralis,
humanis, demokratis yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdalla. Muncul pula
Islam Emansipatoris, madzhab yang dirintis oleh Masdar F. Masudi yang mengajak
untuk mendialogkan Islam dengan problem real (nyata) yang dihadapi umat Islam.
Kemudian Islam Post. Tradisionalisme-nya Ahmad Baso dkk. dan Islam Kirinya LKIS
dan entah apa lagi.
CRAZY MAN
0 komentar:
Posting Komentar